Menu

resesi 2023
Image by Freepik

Ekonom dunia memprediksi kelamnya ekonomi dunia dengan resesi 2023 mendatang. Prediksi resesi ekonomi ini bukannya muncul tanpa sebab. Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi bahkan sudah dirasakan oleh beberapa negara. Lembaga moneter internasional, IMF bahkan secara resmi sudah memperingatkan kalau resesi ekonomi ini bisa dialami oleh banyak negara.  

Secara global, pada 11 Oktober lalu, IMF telah memperbaiki proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 2,7% pada 2023, dari proyeksi sebelumnya yaitu sebesar 2,9%. IMF juga memprediksi sebanyak 25% pertumbuhan dunia bisa melambat hingga kurang dari 2%.  

Ya, resesi jadi topik yang kerap mengemuka dan tak ayal membuat kita khawatir mengingat hal ini bisa berdampak pada keuangan pribadi kamu juga. Lalu bagaimana menghadapi resesi?

Apa itu resesi global? 

Sebelum membahas tentang bagaimana menghadapi resesi, mari pahami terlebih dahulu apa itu resesi dan bagaimana resesi bisa terjadi.  

Menurut Biro Riset Ekonomi Nasional yang dilansir oleh Kompas.com, resesi adalah penurunan secara signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh perekonomian dan berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Penurunan ini dilihat dari beberapa indikator ekonomi seperti Produk Domestik Bruto (PDB) riil, pendapatan riil, peningkatan angka pengangguran, produksi industri dan penjualan grosir-eceran.  

Ketika kondisi resesi tersebut terjadi pada beberapa negara dari berbagai wilayah dunia yang berbeda secara bersamaan, maka yang terjadi adalah resesi global. Apabila resesi global ini terjadi, maka negara-negara maju akan mengalami kontraksi ekonomi (ekonomi bertumbuh negatif), perekonomian di negara-negara berkembang cenderung melambat, dan terjadi penurunan perdagangan saham dengan sangat cepat.  

Apa yang memicu resesi 2023 atau resesi global? 

Lalu kenapa resesi global saat ini bisa terjadi? Sebenarnya kondisi resesi ini dipicu oleh dua kejadian penting, pandemi global dan perang Rusia-Ukraina.  

Seperti kita ketahui, pandemi yang mulai merebak pada Februari 2020 membuat dunia terguncang. Seluruh perhatian dan kegiatan difokuskan pada usaha menghentikan laju penyebaran Covid-19. Negara-negara melakukan pembatasan pergerakan. Walhasil, laju roda ekonomi pun tertahan.  

Pembatasan sosial ini memengaruhi jumlah uang yang beredar di tengah masyarakat. Berkurangnya peredaran uang ini membuat beberapa negara mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi yang cukup berani. Salah satunya, Amerika Serikat yang mencetak uang untuk kemudian disalurkan melalui pinjaman kepada rakyatnya.  

Sayangnya, stimulus ini berdampak negatif pada laju inflasi negara tersebut. Dilansir Katadata, lonjakan harga barang berlangsung dan memicu laju inflasi tahunan di Amerika tembus hingga 9,1% pada Juni lalu, atau tertinggi sejak November 1981.  

Inflasi juga dipicu oleh peristiwa dunia lain, yaitu perang Rusia-Ukraina. Konflik dua negara ini membuat pasokan komoditas di beberapa negara menjadi sulit. Tingginya inflasi ini juga terjadi di negara lain. Bahkan, beberapa negara mengalami inflasi yang sangat tinggi. Sebut saja inflasi di Zimbabwe yang tembus di atas 200%, Lebanon (161,89%), Suriah (139,46%), Sudan, Venezuela dan Turki yang angka inflasinya berada di atas 80%. 

Usaha pun dilakukan untuk meredam inflasi. The Federal Reserve, bank sentral negeri Paman Sam, berusaha menekan laju inflasi dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan ini juga dilakukan oleh beberapa bank sentral di hampir seluruh negara.  

Jika kenaikan suku bunga ini juga dibarengi dengan tekanan pasar keuangan, Penghasilan Domestik Bruto (PDB) akan melambat secara global. Pertumbuhan per kapita juga akan mengalami kontraksi. Kondisi inilah yang disebut dengan resesi global.

Isu kencang resesi global bisa bikin kamu stres. Wah, wah, tahukah kamu, stres bisa memicu beberapa penyakit, loh. Jangan sampai stres membuat kondisi kesehatan kamu jatuh, bahkan terkait dengan kanker.

Apa yang akan terjadi di tahun 2023? 

Melihat apa yang terjadi di tahun 2022, studi dari Bank Dunia, memprediksi skenario resesi ekonomi global yang terjadi sepanjang tahun 2023 dan berpotensi berlanjut sampai 2024.  

Inflasi yang terjadi di dunia membuat harga kebutuhan pokok melonjak, pasokan energi menjadi terganggu, PHK massal, dan jurang antara si kaya dan si miskin semakin dalam.  

Kebijakan bank sentral Amerika yang meningkatkan suku bunga berpotensi membuat harga dolar terus melejit. Pasalnya ketika terjadi resesi, masyarakat cenderung menghindari instrumen investasi yang berisiko tinggi.  

Alih-alih, alokasi dana investasi tersebut berpindah ke instrumen yang terjamin, seperti obligasi. Orang pun berbondong menyimpan uangnya di bank dan menukar mata uangnya ke dolar.  

Hal ini membuat demand dolar meningkat. Ketika permintaannya naik, maka harga barang tersebut pun semakin tinggi. Begitu pula dolar, harganya terus naik karena permintaan masyarakat masih tinggi. 

Bagaimana menghadapi resesi? 

Untuk menghadapi resesi tersebut, ada beberapa hal yang bisa kamu siapkan. Setidaknya, cara di bawah ini bisa membantu kamu bertahan di tengah badai resesi yang sekiranya bisa terjadi di tahun depan.  

1. Bijak dengan pengeluaranmu 

Inilah saat yang tepat untuk meninjau ulang semua pengeluaran kamu. Pastikan apa yang kamu keluarkan memang benar-benar kamu butuhkan. Misalnya kamu mempunyai dua platform langganan streaming film. Tinjau kembali mana yang sekiranya masih kamu perlukan dan hentikan langganan pada platform yang jarang kamu pakai.

menghadapi resesi 2023
Photo by Patrick Perkins on Unsplash

2. Siapkan dana darurat 

Pastikan kamu sudah menyiapkan dana darurat untuk menghadapi kemungkinan terburuk, misalnya kehilangan pekerjaan. Semakin banyak dana darurat yang tersedia, semakin baik. Umumnya, para ahli menyarankan jumlah dana darurat sebesar 6x pengeluaran bulanan kamu. Namun kalau kamu sudah berkeluarga dan memiliki anak, nggak ada salahnya menyisihkan jumlah lebih banyak, bahkan sampai 12x pengeluaran bulanan. Simpan dana darurat kamu dalam bentuk yang likuid alias mudah dicairkan dan bersifat low-risk.  

3. Pilih aset yang cair 

Pada saat resesi, harga aset yang kamu miliki akan mengalami penurunan nilai. Misalnya harga properti. Dan saat resesi, bukan nggak mungkin kamu perlu menjual aset untuk menutupi kebutuhan kamu. Sayangnya aset yang non-likuid atau nggak cair akan sulit untuk dijual. Beberapa contoh aset non-likuid  adalah mobil, properti, saham atau NFT. Sebaliknya aset yang bersifat likuid atau mudah dicairkan adalah emas, tabungan, surat berharga pasar uang, sertifikat Bank Indonesia, maupun reksadana.  

4. Pikir panjang sebelum berutang  

Pertama, hampir semua bank meningkatkan suku bunga. Tentu saja ini juga berdampak pada peningkatan bunga acuan kredit. Kalau saat ini kamu nggak punya utang cicilan, pertahankan. Tunda pembelian aset atau barang yang berpotensi menambah cicilan kamu setiap bulan. Apalagi kalau untuk membeli benda konsumtif, a big no! 

Tapi kalau kamu masih punya beberapa utang yang pelunasannya dalam jangka panjang, misalnya KPR, saatnya melakukan evaluasi. Apakah ada cara yang bisa kamu lakukan untuk mempercepat pelunasannya? Apakah restrukturisasi utang dan refinancing bisa kamu jadikan pilihan? Lakukan evaluasi dengan cermat, ya.  

Kalau pun kamu perlu berutang untuk sesuatu yang bersifat produktif, misalnya untuk modal, lakukan perencanaan yang matang.  

5. Cari pendapatan tambahan 

Resesi menyebabkan inflasi atau kenaikan harga barang-barang, termasuk kebutuhan pokok. Kondisi ini sudah pasti bisa membuat pengeluaran bulanan kamu meningkat. Kalau penghasilan kamu saat ini nggak bisa mengejar keperluan tersebut, bisa-bisa kamu tekor setiap bulan, dan tabungan tergerus terus. Supaya ini nggak terjadi terus-menerus, mulainya cari tambahan penghasilan.  

Walaupun terlihat suram dan menyeramkan, resei bukan akhir dari segalanya. Nggak perlu gentar, dengan persiapan matang dan kehati-hatian dalam bertindak, semoga kita dapat terlindungi dari dampak buruknya. 

Badai ketidakpastian bukan alasan untuk nggak memenuhi biaya asuransi kesehatan. Ini yang kamu perlukan untuk atur keuangan dan penuhi biaya asuransi kesehatan di tengah ketidakpastian.

6. Lindungi diri kamu sendiri 

Kurangi risiko kerugian finansial saat terjadi resesi dengan memiliki proteksi yang tepat. Setidaknya kamu harus memiliki asuransi kesehatan dan asuransi penyakit kritis. Saat ketidakjelasan dalam hal pendapatan maupun ekonomi, setidaknya asuransi memberikan kepastian adanya perlindungan finansial ketika terjadi sesuatu pada diri kita. Penyakit kritis misalnya, berpotensi menyebabkan kerugian finansial yang nggak sedikit. Menggunakan dana darurat untuk pengobatan, tentu bukan hal yang bijak.

Oleh karena itu, terkait proteksi untuk kesehatan adalah bijak untuk kita mempersiapkan diri, diantaranya dengan produk asuransi yang melindungi diri dari risiko finansial ketika terkena penyakit kritis. Asuransi Penyakit Kritis Roojai Indonesia dapat menjadi salah satu alternatif untuk dipertimbangkan, terutama dengan salah satu kelebihannya yang memampukan kamu melakukan klaim bahkan ketika BPJS atau asuransi lain sudah mengcover biaya perawatan penyakit kritismu.

Bagikan:

Asuransi Online Paling Terjangkau dan Inovatif di Asia Tenggara

Dapatkan Penawaran Asuransi Online yang Asuransi Online yang Mudah, Terjangkau, dan Dapat Diandalkan

|

Lihat premi dalam 30 detik.
Gak perlu kasih info kontak!